Haruskah berita duka dulu..?
Mungkin berita duka memang cara alamiah untuk mengumpulkan jiwa-jiwa yang merindu..
Rasanya.. kita semua saling mencintai secara diam, tapi juga saling menunggu. Menunggu waktu yang cukup longgar, menunggu cuaca yang tak terlalu panas, menunggu hari yang tak begitu padat, menunggu momen yang katanya.. akan datang sendiri. Tapi momen itu tak pernah benar-benar datang, dan hari itu habis begitu saja sambil berkata: Nanti ya.. kapan-kapan.
Padahal jaraknya tidak sejauh itu, padahal waktu bisa dicari dari sisa sabtu yang malas, atau minggu pagi yang sering kita isi dengan rebahan. Tapi kita terus bertahan dalam diam, dan percaya bahwa yang kita sayangi.. akan selalu ada.
Lalu tiba-tiba pesan singkat masuk, “Inalillahi, saudara kita meninggal dunia..”
Dan entah bagaimana, waktu yang tak pernah cukup itu mendadak terbuka lebar. Kita berangkat, tak peduli siang yang menyambar, tak peduli malam yang sunyinya cukup mencekam. Kita pulang.
Dan saat itu aku duduk di ruangtamu rumah nenek yang dulu terasa kecil, aku hanya bisa menatap sudut-sudut yang masih sama. Hanya lebih sunyi, hanya lebih kehilangan. Lalu muncul pertanyaan yang sama,
Haruskah ada berita duka dulu, agar kita bisa kembali saling menengok?
Haruskah ada berita duka dulu, agar kita bisa kembali saling memeluk?
Haruskah ada berita duka dulu, agar kita bisa kembali rasakan hangatnya kebersamaan?
Haruskah ada berita duka dulu…
Nenek masih ada, namun waktu mengikisnya perlahan. Dan aku sibuk mempercayai bahwa ada hari esok, tanpa benar-benar memastikan apakah hari esok itu akan datang.
Desa itu masih sama, masih ada rerumputan basah ketika diterpa hujan. Yang menggelitik telapak kaki dengan jahil. Masih ada suara jangkrik dan semilir angin yang ringan. Tapi kita tak pernah datang lagi, kecuali saat duka lebih dulu memanggil.
Entahlah, mungkin semesta tak pernah benar-benar melarang kita untuk pulang. Atau.. justru kitalah yang terlalu sering berpura-pura tak sempat.